Selasa, 28 September 2010

Berbisnis dengan Hati Bag I

KH. ABDULLAH GYMNASTIA & HERMAWAN KARTAJAYA

BAGIAN I
PENGANTAR
HERMAWAN KARTAJAYA

KEJUJURAN SEBAGAI
KEUNGGULAN BERSAING
Oleh : Hermawan Kartajaya

Saya memikirkan compassionate marketing sejak tiga tahunan yang lalu saat
skandal keuangan merebak di Amerika yang memuncak dengan tumbangnya
perusahaan – perusahaan raksasa seperti Enron, Worldcom, atau Global Crossing.
Kasus manipulasi akuntansi terbesar dalam sejarah bisnis Amerika tersebut
menunjukkan keadaan kita betapa semakin tingginya kompleksitas bisnis,
semakin canggihnya tool – tool manajemen, dan semakain majunya perangkat
regulasi, ternyata bukannya menjadikan praktek bisnis kita menjadi semakin
dewasa dan beradab. Justru sebaliknya, ia semakin kebablasan tanpa etika, tanpa
nilai – nilai moral, tanpa pegangan.
Saya berpikir apakah ini tanda akan datangnya akhir jaman. Bisnis telah kian
terpuruk oleh tangan – tangan orang yang tidak punya etika dan moral. Bisnis
tidak lagi dijalankan dengan semangat kejujuran dan keadilan. Apa yang kita lihat
dari skandal tersebut adalah betapa para pebisnis semakin membabi – buta
mengha lalkan cara apapun untuk mengeruk keuntungan pribadi tanpa peduli hal
itu merugikan pihak lain. Para pebisnis semakin kehilangan nuraninya.
Kejadian di Amerika tersebut sesungguhnya bukanlah konsern utama saya.
konsern dan keprihatinan saya justru pada pr aktek bisnis yang sudah berjalan
bertahun – tahun di negeri ini. Kalau mau jujur, sesungguhnya apa yang terjadi di
Amerika itu sudah menjadi keseharian kita selama ini. Secara kebetulan berita
skandal itu di blow up besar – besaran media massa di seluruh dunia sehingga kita
tahu dan tersentak karenanya.
Tapi bagi kita yang di Indonesia skandal tersebut adalah biasa saja. Karena di
negeri ini praktek bisnis yang sepuluh kali lipat lebih kotor dari praktek bisnis
yang dijalankan para eksekutif Enron itu begitu banyak dan telah membudaya
selama tiga puluh tahun lebih.
Kongkalikong politisi – pengusaha!
Bisnis “nginjak kaki”!
Praktek suap dan mark – up!
Sogok – menyogok pejabat untuk memenangkan proyek!
Mendirikan bank untuk mengeruk duit masyarakat untuk mendanai bisnis grup!
Mengelabui bank untuk menguras koceknya!
Kolusi pejabat untuk mendapatkan monopoli!
Dan masih banyak lagi.

Kalau mau lebih detail lagi bacalah artikel, Saya Bermimpi Menjadi Konglomerat
– nya Pak Kwik Kian Gie.
Semula saya berpikir bahwa dengan bergantinya pemerintahan Orde Baru politik
di negeri ini akan lebih jujur dan adil. Sehingga kalau politiknya oke diharapkan
praktek bisnisnya juga oke. Tapi seperti kita tahu semua, wajah politik pasca Orde
Baru bukannya lebih baik malah lebih compang – camping.
Kalau dulu korupsi bisa secara rapi “dipusatkan” di pusat – pusat pemerintahan,
maka kini korupsi tersebut semakin meluas dan merajalela di tingkat kabupaten
bahkan kecamatan. Kalau dulu kongkalikong pengusaha – pejabat hanya terbatas
di Jakarta maka kini hal yang sama dilakukan di secara massif di tingkat
kabupaten – kecamatan. Tak heran jika negeri kita ini tak bergeming posisinya
sebagai negara terkorup di dunia. Praktek bisnis kotor yang selama puluhan tahun
melingkupi keseharian kita semakin menyadarkan saya bahwa kejujuran dan etika
bisnis kini sudah menjadi suatu yang langka di negeri ini.
Di negeri yang compang – camping etika bisnisnya, kejujuran merupakan
“resources” yang semakin langka bagi perusahaan. Dan tak bisa di-leverage
menjadi komponen penting keunggulan bersaing perusahaan. Karena godaan
untuk berbisnis secara tidak jujur itu demikian kuat di negeri ini, maka tak banyak
perusahaan yang mampu melakukannya.
Apa artinya ini? Artinya adalah bahwa kejujuran bisa menjadi sumber keunggulan
bersaing yang sangat kokoh. Kenapa kokoh? Karena tak banyak perusahaan yang
mampu melakukannya dan kemampuan tersebut sulit ditiru pesaing. Dalam teori
manajemen, kalau sebuah perusahaan mampu melakukan sesuatu yang sulit ditiru
oleh pesaing maka ia akan memiliki daya saing yang kuat dan sustainable dalam
jangka panjang.
Saya melihat praktek bisnis dan marketing bergeser dan mengalami transformasi
dari level intelektual menuju ke emosional, dan akhirnya ke spiritual. Level
intelektual ditandai dengan penggunaan tool – tool marketing ampuh seperti
marketing mix, branding, positioning, dan sebagainya.
Lalu sejak sekitar sepuluh tahunan yang lalu konsep emotional marketing muncul
dan kini makin mendominasi praktek pemasaran yang dijalankan oleh pa ra pelaku
bisnis. Saat ini varian dari emotional marketing ini sudah berkembang demikian
luas dan telah menjadi buzzword marketing yang popular. Sebut saja beberapa di
antaranya seperti : customer relationship management, experiential marketing,
emotional branding, dan sebagainya.
Tapi kini dan di masa datang, apalagi setelah pecahnya skandal keuangan yang
saya sebut di depan, saya melihat eranya akan bergeser kearah spiritual. Sehebat
apapun strategi bisnis yang Anda punyai, secanggih apapun tool marketin g yang
Anda jalankan, semuanya tak akan ada gunnya kalau tidak dilandasi spiritualitas
yang kokh, Mau bukti? Buktinya Enron, raksasa energi yang praktis habis dalam

semalam karena tidak jujur kepada stakeholders-nya. Apapun bisnis Anda, rohnya
akan terletak pada kejujuran dan etika.
Saya sangat terkesan dengan logika yang dipakai Aa Gym mengenai berbisnis
yang jujur. Berikut ini ada perkataan Aa Gym, “Logikanya sederhana, Allah yang
menyuruh jujur, Allah yang memberi rezeki, untuk apa harus tidak jujur?”
Bisa dikatakan Aa Gym sudah seperti Raja Midas, apapun yang disentuhnya
menjadi emas. Maksudnya, apapun bisnis yang dimasukinya selalu membawa
kesuksesan. Kini beliau sudah mengelola 19 perusahaan dan semuanya
merupakan bisnis yang menguntungkan.
Semua kesuksesan tersebut kuncinya menurut Aa Gym cuma satu : Jujur.
Dalam tulisan ini berisi uraian Saya dan Aa Gym mengenai bisnis yang dilandasi
oleh kejujuran, etika, dan profesionalitas. Isinya sendiri merupakan rangkuman
dari butir – butir pemikiran Saya dan Aa Gym mengenai berbisnis yang jujur dan
beretika yang kami kemukakan dalam sebuah acara talk show dalam rangka
pengajian bulan Ramadhan tahun 2003 lalu.
Dalam tulisan ini Aa gym menguraikan prinsip – prinsip dasar bisnis yang
berlandaskan kejujuran dan Islam, tentu saja dalam konteks Manajemen Qolbu.
sementara saya menguraikan sebuah konsep terbaru yang sudah sejak setahun ini
saya gagas bersama rekan – rekan di MarkPlus&Co. yaitu apa yang saya sebut,
The 10 Credos of Compassionate Marketing.
Akhirnya saya berharap bahwa di negeri tercinta ini akan semakin banyak
perushaan yang mampu tumbuh, berkembang, dan memiliki daya saing kuat
karena prinsip kejujuran dan etika yang dipegang teguh. Betapa indah kalau
bisnis itu dijalankan dengan nurani.

The 10 Credos of
Compassionate Marketing
MarkPlus&Co
Jakarta, 2004





Tidak ada komentar: