Selasa, 28 September 2010

Berbisnis dengan Hati Bag IV AA GYM The Spiritual Marketer

AA GYM :
THE SPIRITUAL MARKETER

Saya pertama kali bertemu Aa Gym pada September 2003 lalu. Sebelumnya, saya
memang sudah sering membaca berbagai tulisan tentangnya dan sesekali
menonton acaranya di berbagai media massa. Staf dan klien saya pun sering
membicarakan sosok yang satu ini. Makanya saya jadi penasaran seperti apakah
Aa Gym ini in person?
Nah, waktu kebetulan saya ada di Bandung, saya langsung saja berkunjung ke
Pesantren Daarut Tauhiid yang diasuh oleh Aa Gym. Bersama beberapa staf saya,
kami disambut dengan sangat ramah dan hangat oleh Aa gym beserta para
santrinya. Kami pun lalu ngobrol banyak tentang berbagai hal. Salah satunya yang
membuat saya terkesan adalah pandangan Aa Gym tentang bisnis dan
kewirausahaan.
Memang saya saksikan sendiri, Pesantren Daarut Tauhid ini berbeda dari
bayangan saya semula. Pesantren ini membaur dengan masyarakat sekitarnya,
tidak ada tembok ataupun gerbang yang membatasi lingkungan pesantren. Para
santri tinggal dirumah – rumah penduduk sekitar. Mereka pun memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan membeli berbagai barang dari penduduk sekitar itu.
Maka, dengan sendirinya, ekonomi masyarakat pun akan tumbuh dan mampu
memicu semangat kewirausahaan di sekitar wilayah itu.
Aa Gym ngomong kalau ia selalu menekankan kepada setiap orang agar mampu
menumbuhkan semangat wirausaha. Orang akan lebih memiliki rasa percaya diri
dan kehormatan jika mampu menjaga diri dari meminta – minta. Selain itu, Aa
Gym juga berpandangan bahwa dalam berbisnis pun niat dan caranya lah yang
paling penting. Niat kita haruslah bersih, caranya pun haruslah benar.
Saya nilai, dari sisi pemasaran, apa yang dilakukan oleh Aa Gym inilah yang saya
sebut sebagai spiritual marketing. Spiritual marketing bukan berarti bahwa kita
melakukan bisnis yang berhubungan dengan agama, yang berhubungan dengan
perangkat ibadah misalnya. Spiritual marketing berarti kita mampu memberikan
kebahagian kepada setiap orang yang terlibat dalam berbisnis, baik diri kita
maupun orang lain seperti pelanggan, pemasok, distributor, dan bahkan para
pesaing kita. Kita harus mencintai pelanggan dan sekaligus juga menghargai para
pesaing kita.

Nah, walaupun kita bergerak dalam bisnis yang berhubungan dengan agama,
namun jika tidak mampu memberikan kebahagian kepada semua pihak, berarti
kita belum melaksanakan spiritual marketing. Sebaliknya, jika dalam berbisnis
kita sudah mampu memberika n kebahagian ini, pada dasarnya kita sudah
menjalankan spiritual marketing, apapun bidang bisnis yang kita geluti.
Mungkin timbul pertanyaan, lho, kok bias kita ikut membahagiakan para pesaing?
Bagi saya, persaingan itu baik, karena persaingan turut, membesarkan pasar. Jika
kita sukses, berarti permintaan pasar terhadap penawaran kita juga membesar.
Tentu saja kita memiliki keterbatasan – keterbatasan, sehingga tidak semua
permintaan yang ada dapat kita penuhi. Nah, permintaan pasar inilah yang
nantinya a kan dipenuhi oleh para pesaing kita.
Selain itu, kita juga dapat belajar sesuatu dari para pesaing kita itu untuk
memperbaiki diri kita sendiri. Persaingan memberikan kita inspirasi dan semangat
untuk terus berusaha. Maka, pada akhirnya, terjadilah hubungan yang saling
menguntungkan antara kita dengan para pesaing.
Begitu pula dengan pelanggan. Jika pelanggan sudah sangat percaya kepada kita,
ia akan menjadi seseorang yang saya sebut Spiritual advocate. Ia bukan hanya
akan membeli produk atau servis yang kita tawarkan. Lebih jauh, ia akan
mendukung usaha apapun yang kita lakukan. Bahkan, jika ada yang mengkritik
kita, orang inilah yang akan maju membela kita tanpa diminta.
Bagi saya, pemasaran itu memiliki tiga dimensi, yaitu Strategy, Tactic, dan Value.
Strategy berorientasi pada cara memenangkan long – term mind share di benak
pelanggan. Tactic berorientasi pada short – term market share. Sedangkan Value
berorientasi pada lifetime heart – share. Nah, spiritual advocade inilah yang akan
kita dapatkan jika kita sudah mampu memenangkan lifetime heart – share.
Sikap empati kepada orang lain – baik pelanggan maupun pesaing – inilah yang
harus kita miliki. Kita harus selalu mencoba untuk menempatkan diri pada situasi
yang dialami orang tersebut. Kita pun harus memperlakukan mereka seperti
layaknya kita ingin diperlakukan oleh mereka. Jika kita tidak ingin membeli
produk yang kelihatannya bagus namun ternyata berkualitas buruk, tentunya kita
tidak boleh melakukan hal yang sama kepada pelanggan kita.
Memang, bagi sebagian orang, pemasaran itu masih sering disalahartikan.
Pemasaran sering disamakan dengan membujuk pelanggan atau konsumen.
Marketing is cheating, demikian anggapan sebagian orang. Namun, bagi saya,
marketing is not cheating. Marketing is about how to get customer and grow them
with your business.
Saar ini, pelanggan menjadi semakin pintar sekaligus emosional. Emosi adalah
pintu masuk bagi pelanggan. Mereka harus meresa enak (feel good) dulu dan

sesudh itu mereka akan tetap ‘menyaring’ informasi yang masuk dengan
menggunakan rasionya. Jika secara emosional sudah tidak terbangun minat dalam
diri pelanggan, maka produk atau jasa yang kita tawarkan nantinya tidak akan
dapat masuk ke hati mereka.
Konsumen sekarang cenderung menggunakan EQ-nya dulu dan setelah itu baru
IQ-nya. Bahkan pada akhirnya mereka juga akan menggunakan SQ -ny.
Konsumen akan mempertimbangkan kesesuaian produk dan jasa terhadap nilai –
nilai spiritual yang diyakininya. Pemasaran itu bukan sekadar penjualan, tetapi
membuat pelanggan sela lu berpikir tentang kita, membuat pelanggan jatuh cinta
kepada kita.
Sebelum jatuh cinta, tentunya kita harus membuat orang itu percaya kepada kita
terlebih dahulu. Kepercayaan orang adalah fondasi dasar dalam berbisnis.
Semakin orang itu percaya kepada kita, maka semakin mereka bersedia
menyerahkan segalanya kepada kita. Karena itu, di tengah – tengah era yang
semakin tidak pasti saat ini, integritas justru semakin mergukan banyak hal, maka
kecakapan, profesionalitas, dan yang terpenting, kejujuran, akan menjadi hal – hal
yang makin dibutuhkan.
Banyak orang berpendapat, bagaimana bias berwirausaha, lha wong modalnya
sendiri tidak ada. Bagi saya, seperti yang sudah saya lihat sendiri pada diri Aa
Gym, modal pertama dan terbesar bukanlah materi, bukanlah uang atau harta –
benda, namun semangat dan keyakinan.
Begitu juag bicara masalah keuntungan. Banyak yang merasa bahwa menjadi
wirausahawan pendapatannya lebih kecil daripada pekerja kantoran misalnya.
Sekali lagi saya nyatakan, makna keuntungan (profit) di era spiritual marketing
bukanlah uang, harta, atau jabatan semata. Yang lebih penting adalah timbulnya
rasa kebahagiaan, rasa kedamaian dalam diri. Inilah jugalah yang saya lihat pada
diri Aa Gym. Walaupun sudah sangat sukses seperti sekarang ini, ia tidak memilih
hidup bermewah diri. Ia lebih merasa bahagaia dengan hidupnya yang bersahaja
serta terus – menerus memimpin para santrinya untuk juga bersikap serupa
dengannya.
Memang, spiritual marketing bertujuan untuk mencapai sebuah solusi yang adil
dan transparan bagi semua pihak yang terlibat. Tidak akan ada piahak yang
merasa dirugikan. Tidak akan ada pula pihak yang berburuk sangka. Nilai – nilai
spiritual dalam berbisnis ini juga kan mampu memperbaiki inner – side kita.
Sebaliknya, semakin spiritual seseorang, ia pun akan lebih mampu menjalankan
bisnisnya dengan lebih tenang dan dicintai oleh semua pihak.
Aa Gym bukan hanya sekedar memberikan teori, tetapi ia pun telah
memparktikkannya dan terbukti sangat sukses.

Maka, rasanya tidak salah kalau saya menjuluki Aa Gym sebagai seorang spiritual
marketer. Ia merupakan contoh paling nyata dan sempurna dari pelaksanaan
spiritual marketing. Mudah – mudahan akan muncul semakin banyak lagi spiritual
marketer – spiritual marketer Indonesia di masa depan, mengikuti jejak Aa Gym.
LIFE WITH A MISSION

Beberapa waktu lalu, saya terbang naik Garuda Indonesia dari Singapura ke
Jakarta. Selama penerbangan, saya dilayani oleh seorang pramugari cantik.
Namanya Dewi Sahyanti.
Saya terkesan dengannya. Saya lihat, pramugari yang satu ini beda dengan yang
lain. Wajahnya wajah senyum, smile face, atau sumeh kata orang Jawa. Sikapnya
pun sangat baik dalam melayani. Keramahan yang ditunjukkannya terkesan
natural dan memang berasal dari hati, tidak dibuat – buat atau sekedar sikap
professional semata.
Saya lantas ngobrol dengannya. Saya Tanya, sudah berapa tahun jadi pramugari ?
17 tahun katanya. Lho, biasanya kalau sudah 17 tahun begitukan sudah capek dan
sudah pension ? Jawabnya lagi, menjadi pramugari ini sudah meerupakan calling,
panggilan jiwa, bukan lagi dianggap pekerjaan. Dia senang melihat pramugari
yang selalu bepergian ke mana – mana dan selalu malayani orang. Jadi, walaupun
mungkin kadang – kadang terasa capek , ia tetap bias menikmati. Ada kepuasan
batin tersendiri yang tidak bias diukur dengan materi.
Wah, saya benar – benar terkesan dengan ucapannya ini. Jarang saya temui orang
yang menajalani pekerjaannya karena memang sesuai dengan panggilan jiwanya.
Saya langsung teringat dengan konsep progression of commitment value.
Memang, setiap saya mendapatkan masukan dari orang lain, selalu coba saya
hubungkan dengan berbagai konsep bisnis yang ada di kepala saya. DAlam
konsep progression of commitment value ada 4 tingkatan komitmen. Yaitu
berturut – turut dari mulai yang terendah tingkatannya : political commitment,
intellectual commitment, emotional commitment, dan spiritual commitment.
Tingkatan terendah adalah political commitment. Pada tingkatan ini, orang hanya
memiliki komitment terhadap sesuatu karena sifatnya yang terpaksa, misalnya
karena tuntutan pekerjaan atau pengaruh kekuasaan. Tingkatan selanjutnya adalh
intellectual commitment. Ornag memiliki komitmen terhadap sesuatu karena hal
itu dipandang mampu memenuhi kebutuhan intelektualnya. Misalnya seseorang
yang dalam situasi apapun selalu menyempatkan diri untuk membaca buku.
Sedangkan tingkatan ketiga adalah emotional commitment. Komitmen orang yang
ada di tingkatan ini sudah bersifat emosional, sukareladan tidak lagi memikirkan
untung – rugi. Misalnya saja adalah para pengikut tokoh tertentu yang selalu
mengikuti apa yang diucapkan pemimpinnya. Sedangkan spiritual commitment

merupakan tingkatan komitmen tertinggi; seseorang akan berkomitmen dengan
apa yang dikerjakannya karena hal itu memang merupakan panggilan jiwanya.
Orang ini sudah tidak lagi terikat kepada hal – hal yang bersifat duniawi.
Bagi saya, hubungan antara Sahyanti dengan pekerjaannya ini sudah sampai
tingkatan spiritual commitment. Ia memiliki komitmen terhadap pekerjaannya
sebagai pramugari karena memang merupakan impiannya sejak kecil dan sesuai
dengan penggilan jiwanya.
Nah, kisah Sahyanti ini juga mirip dengan kisah pribadi saya sendiri.
Saat perayaan tahun baru Cina lalu, saya menyaksikan kisah Confus ius di salah
satu stasiun televise. Anda tentu tahu, filsuf Cina yang hidup sekitar 2500 tahun
lalui ini selalau menginspirasi orang – orang untuk tidak hanya bekerja keras,
namun juga untuk selalu belajar setiap saat.
Confusius berkata, “Anda harus terus belajar sampai saat tutup peti mati Anda
ditutup!” Memang, Confusius dikenal sebagai seorang yang selalu belajar
(learning), membagi pengetahuan dan pengalamannya (sharing), serta
mengajarkannya (teaching) kepada siapapun sepanjang hidupnya. Dia juga tidak
pernah menyerah dan tidak pernah puas dengan apa yang telah dicapainya.
Nah, pada hari itu juga, sore hari, tiba – tiba hati saya merasa sangat tersentuh.
Saat itu, salah satu sahabat saya bercerita tentang pesan dari alamarhum ayah
saya. Walaupun kami telah bersahabat sangat lama, namun sahabat saya ini justru
lebih banyak ngobrol dengan ayah saya daripada dengan saya sendiri. Kisah ini
bahkan belum pernah disampaikan kepada saya oleh ayah saya.
Suatu malam, kepada sahabat saya itu, almarhum ayah saya menunjukkan gambar
Confusius yang berada disamping foto saya. Ayah saya bilang bahwa dia ingin
saya bias menjadi seperti Confusius. Itulah sebabnya mengapa saya diberi nama
Tan Tjiu Shiok (nama kecil saya) yang berarti saya harus terus belajar setiap saat.
Rupanya, impian ayah saya ini tercapai. Waktu muda, saya mengajar murid SMP
untuk membiayai sekolah, karena keluarga saya sangat miskin. Saya sudah
menjadi guru matematika dan fisika sejak usia yang masih sangat muda, 17 tahun.
Bahkan, sebelum berusia 20 tahun saya sudah menjadi kepala sekolah SMP!
Secara keseluruhan, saya menjadi guru SMP, SMA, dan bahkan SD selama 20
tahun! Saya memang sangat menikmati pekerjaan mengajar ini. Saya itu selalu
berpikir dalam keadaan apapun. Saya selalu berpikir ketika sa ya bicara, berjalan,
berbelanja, mandi dan bahkan tidur! Dengan berpikir, saya menciptakan berbagai
model pemasaran saya, mulai dari Marketing Plus 2000, Sustainable Market-ing
Enterprise sampai Marketing in Venus.

Inilah yang namanya life with a mission. Dalam menjalani hidup ini, kita harus
tahu apa misi hidup kita. Lalu, apakah yang kita lakukan sesuai dengan misi hidup
kita itu banyak orang yang mengerjakan sesuatu, namun sebenarnya tidak tahu
untuk apa dia mengerjakan itu. Banyak pula orang yang bekerja keras, namun
tidak mendapatkan kebahagiaan. Ini semua karena tidak ada keselarasan antara
apa yang mereka kerjakan dengan tujuan hidup mereka.
Jadi, seperti kisah Sahyanti dan saya tadi. Kerjakanlah semua hal sesuai dengan
panggilan jiwa Anda. Niscaya, Anda pun akan mendapatkan kenikmatan batin
yang tidak akan tergantikan oleh apa pun!
(Dimuat di Garuda In-Flight Magazine edisi Mei 2004)

Tidak ada komentar: