Selasa, 28 September 2010

Berbisnis dengan Hati Bag IV Compassionate Marketing

HERMAWAN KARTAJAYA
MENGENAI COMPASSIONATE MARKETING

"PENGUTIL KERAH PUTIHDAN MASA DEPAN
CORPORATE GOVERNANCE"

Awalnya, stock option diciptakan dengan tujuan yang sangat indah dan mulia.
Intinya, manajer dan eksekutif perusahaan diberi opsi kepemilikan saham yang
nyaris risk – free untuk jangka waktu tertentu; opsi itu bisa di exercise ketika,
misalnya, harga saham tersebut sedang bagus.
Tujuannya apa? Tujuannya mulianya adalah agar si eksekutif bisa bertindak
layaknya pemilik alias shareholder. Dengan demikian, akan terwujud “company
of owners”. Karena eksekutif bertindak layaknya pemilik, maka misi utama
eksekutif akan sama dan sebangun dengan misi pemilik, yaitu value creation. Atau
gampangnya, setiap jengkal pikiran dan tindakan eksekutif akan selalu mengarah
ke duit, duit, dan duit. Wajar saja, karena misi utama perusahaan memang value
creation atau mesin duit
Namun tujuan yang begitu mulia itu menjadi amburadul ketika kita melihat
kenyataan skandal keuangan yang terjadi beruntun beberapa bulan terakhir. Kira –
kira dua minggu lalu saya membaca survey majalah Fortune Hasil survey.
Ini menarik sekaligus menyedihkan. Melalui survey ini, Fortune berhasil
mengungkapkan, di tengah – tengah bangkrut dan hancurnya perusahaan –
perusahaan seperti Enron, Qwest Communications, Global Crossing, Tyco,
WorldCom (sebut saja mereka, the America’s Losingest Companies), terdapat
segelintir eksekutif yangmengambil keuntungan, dan bisa dipastikan mereka
mendadak ka ya raya tak hanya sekadar kaya raya, tapi amat sangat kaya raya.
Kenapa mereka kaya raya? Karena, mereka nberhasil meng-exercise opsi saham
mereka di tingkat harga saat posisi perusahaan tersebut di Wall Street berada di
puncak – puncaknya. Kita tahu perusahaan – perusahaan macam Enron,
WorldCom. Qwest, atau Global Crossing adalah perusahaan balon (bubble
companies) yang dimasa jayanya begitu perkasa di Wall Street karena ditiup
sebesar – besarnya oleh eksekutif puncak mereka. Namanya saja perusahaan
balon, dari luar memang kelihatan gemuk, perkasa, dan molek, tapi sesungguhnya
dalamnya kosong melompong danrapuh. Umumnya, para eksekutif menjual opsi
saham mereka saat harga di puncak – puncaknya, kira – kira detik – detik
menjelang balon mau meletus.

Keuntungan yang mereka raup nggak kepalang tanggung. Philip Anschultz,
Direktur Qwest Communication, meraup tak kurang dari US$2,26 miliar; Lou Pai,
Kepala Divisi Enron meraup US$994 juta; Gary Winnick, Chairman Global
Crossing meraup US$951 juta. Fortune menghitung total transaksi opsi saham ini
selama setahun terakhir di perusahaan balon yang nilai sahamnya terjun bebas
minimal 75%. Anda mau tahu berapa angka yang dihasilkan survey fortune?
sangat fantastis, sekitar US$66 Miliar atau kira – kira setengah GDP kita
Apa artinya ini? Artinya, ketika investor public di Wall Street menangis meraung
– raung atau bahkan bunuh diri karena 70%, 90%, atau seluruh hartanya ludes,
segelintir eksekutif ini berhasil meraup dana segar US$66 miliar. Ketika investor
public jatuh miskin, mereka menimbun kekayaan yang tak habis tujuh turunan.
Pertanyaannya, apa salah mereka meng – exercise opsi saham mereka saaat harga
sedang bagus – bagusnya? Sama Sekali tak salah. Yang salah adalah, ketika
dengan sadar mereka “meniup” kinerja pa lsu dari perusahaan balon yang mereka
kelola, kemudian mempercantiknya, dan setelah cantik kemudian mereka
mengedarkannya ke investor public, si investor kepincut dan jatuh cinta setengah
mati, si investor kemudian berburu saham perusahaan tersbut, harga saham
meroket, dan akhirnya ketika saham berada di puncak, inilah kesempatan emas
bagi si eksekutif meraup kekayaan. Jadi masalah etik yang sangat serius di sini
adalah, si eksekutif tamak ini yahu persis bahkan sengaja menjual dagangan yang
tampak luarnya saja cantik molek, tapi dalamnya busuk penuh ulat.
Yang menarik, cara para eksekutif ini mempercanrik perusahaan balon. Mereka
membawanya ke salon dan me-makeup -nya habis – habisan : diluluri, dibedaki,
dilipstiki. Bagaimana cara mereka me-makeup? Pertama , melalui creative
accounting : kapitalisasi expense, transaksi off-balance sheet; transfer pricing ke
account – account yang merupakan “tax heaven area”, dan sebagainya. Kedua,
dengan mengundang konsultan top dunia untuk membikinkan cetak biru strategi
dan model bisnis yang solid, yang laku keras ketika dijual di Wall Street.
Dan ketiga, berkongkalikong dengan para analis dari perushaan investment bank
top dunia untuk meroketkan harga saham. Kita tahu para analis ini adalah orang
kuat di Wall Street. Merekalah sesungguhnya yang berkuasa mempengaruhi,
membentuk, dan menaikturunkan harga saham, melalui nasihat dan laporan riset
mereka kepada investor. Seharusnya nasihat dan laporan riset tersebut jujur dan
obyektif, tapi karena mereka dibayar, ya nasihat dan laporan riset itu kemudian
menjadi alat mereka untuk mendongkrak harga saham perusahaan balon di atas.
Kasus di atas adalah bagian kecil saja dari gambaran muram praktik corporate
governance. Kasus tersebut menunjukkan kepada kita betapa semakin tingginya
kompleksitas bisnis, semakin canggihnya tools manajemen bisnis, dan semakin
majunya perangkat regulasi, ternyata bukannya menjadikan praktik corporate
governance semakin dewasa dan beradab. Justru sebaliknya, ia semakin
kebablasan tanpa etika, tanpa nilai – nilai moral, tanpa pegangan.

Karena itu, era pasca – Enron membutuhkan model perusahaan yang berbeda dari
masa – masa sebelumnya. Era ini membutuhkan tak hanya value – based
corporation, tapi juga values – based corporation. Yang pertama merupakan
model perusahaan yang fokusnya value creation alias cari duit, cari duit, dan cari
duit. Sementara yang kedua, fokusnya adalah nilai – nilai (values) moral dan etik.
Yang pertama akan menjadikan manajemen sebagai economic animal, sementara
yang kedua akan menja dikan manajemen sebagai etchical human. Alangkah
indahnya jika kedua model itu disintesiskan, karena dengan demikian perusahaan
tak akan keblinger seperti yang terjadi dalam kasus di atas.
(Ditulis oleh Yuswohady di majalah SWA. 24 Oktober – 4 November 2002)
GANJARAN BAGI YANG
MEMBOHONGI PELANGGAN
Selama tahun tahun 2002 lalu kita diguncang oleh peristiwa demi peristiwa
rontoknya perusahaan – perusahaan top dunia yang tak hanya disegani oleh para
pakar manajemen karena kesolidan model bisnisnya.
Enron, Worldcom, Kmart, Global Crossing dinyatakan bangkrut oleh pengadilan
karena salah strategi dan melakukan manipulasi akuntansi. Arthur Andersen seprti
mati suri karena diduga bersama – sama dengan beberapa perusahaan tersebut
melakukan rekayasa laporan keuangan. Perusahaan itu limbung karena hilangnya
kredibilitas. Kalau kredibilitas hilang, maka ekuitas merek mereka rontok, dan
matinya perusahaan – perusahaan tersebut tinggal tunggu waktu saja.
Yang kita lihat adalah, bahwa hanya beberapa hari sebelum perusahaan –
perusahaan tersebut limbung dan akhirnya bangkrut, mereka memiliki ekuitas
merek yang kuat, nahkan sangat – sangat kuat, Enron adalah raksasa energi yang
dimasa puncaknya pernah dihargai Wall Street lebih dari $60 miliar – kira – kira
separo GDP Indonesia. Arthur Andersen adalah anggota Big Five perusahaan
akuntansi terkemuka dunia dengan klien – klien besar sekelas GE dan IBM.
Sementara dibawah kepemimpinan CEO-nya yang flamboyant Bernie Ebbers,
Worldcom adalah raksasa telekomunikasi global dengan reputasi mengagumkan.
Namun ekuitas merek yang begitu tinggi dan kokoh tersebut bisa habis hanya
dalam semalam. Ada semacam ledakan disruptive, layaknya ledakan sebuah bom
atom, yang mampu memusnahkan bangunan merek tuntas hingga ke akar –
akarnya.
Bagaimana tidak disruptive? Coba saja kita lihat indicator – indicator berikut :
Sebelumnya Enron pernah bernilai $50-an miliar, begitu skandal terkuak
perusahaan ini praktis tak punya nilai, sebelum akhirnya bangkrut.
Sebelum terkena skandal, harga saham Worldcom masih berkisar $60-an per
saham, namun hanya dalam ukuran jam nilai saham ini terjun bebas tinggal
beberapa sen; Andersen lain lagi, walaupun tak sampai ditutup, hanya dalam
beberapa hari ia ditinggalkan oleh lebih dari 170 klien loyalnya, termasuk
Colgate-Palmolive yang telah menjadi kliennya selama 80 tahun. Bisa saya
katakana, sebagai sebuah merek Andersen saat ini sudah mati karena “jantung”
operasinya, yaitu integritas dan kredibilitas, sudah tidak dimilikinya lagi.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kasus ini? Yang kita lihat adalh bahwa
Enron, Worldcom dan Global Crossing mencoba membohongi pelanggannya
dengan memanipulasi dan menyembunyikan informasi keuangannya.
Siapa pelanggan Enron, Worldcom, dan Global Crossing dalam hal ini?
Tak lain adalah para investor di Wall Street. Mereka ini adalah para “investor
customer” yang menanam dananya ke perusahaan – perusahaan tersebut. (Ingat
kita memiliki tiga jenis pelanggan: “external customer” , “internal customer”
yaitu para karyawan, dan “investor customer” yang menanam dananya di
perusahaan)
Begitu semua kebohongan itu terungkap akhir 2002 lalu, mka apa yang kemudian
terjadi? Pelanggan di Wall Street ini marah besar, dan wajar saja kalau kemudian
mereka melakukan rush, menarik dananya. Hasilnya, harga saham perusahaan
tersebut terjun bebas, dan dalam hitungan jam menjadi hampir tak bernilai sama
sekali.
Itulah ganjaran bagi perusahaan yang berbohong kepada pelanggannya!!!!!
BRAND GOES SPIRITUAL
Apa yang membedakan merek – merek terkemuka seperti Singapore Airlines,
Harley Davidson, The Body Shop, Hard Rock CafĂ©, Starbucks dengan merek –
merek lainnya?
Merek – merek diatas memiliki charisma. Sebuah merek yang kahrismatik tidak
hanya mengandung unsure emosional, intelektual atau functional value saja.
Tetapi merek tersebut juga mengandung spiritual value yang menjadi pengikat
antara merek dengan customer-nya
Ini pulalah yang dikemukakan oleh sejumlah raksasa bisnis dunia pada Global
Brand Forum di Singapore tanggal 1 dan 2 Desember 2003 lalu. Saya hadir
langsung pada acara yang diorganisir oleh The Ogilvy Group dan International
Enterprise Singapore ini. Pesertanya sangat ramai, sekitar 700 pimpinan
perusahaan terkemuka dari seluruh dunia menghadiri acara tahunan ini.
Memang, di lanskap bisnis baru saat ini, merek bukan lagi tugas dan tanggung
jawab brand managers atau marketing managers semata. Namun sesungguhnya
tanggung jawab seorang CEO. Ingat keputusan yang keliru bisa merusak value
corporate secara keseluruhan.
Bagi para pemasar dan pebisnis, Global Brand Forum yang dilangsungkan tiap
tahun di Davos, Swiss. Sejumlah nama kondang menjadi pembicara di acara ini,
mulai dari Scott Bedbury, mantan chief marketing strategist di Nike dan
Starbucks sampai Tom Peters, yang disebut sebagai the “Ur-Guru” (gurunya guru)
bidang manajemen oleh majalah Fortune, hadir mengungkapkan pandangan –
pandangannya tentang isu kritis menyangkut masalah merek dan bisnis di masa
depan.
Menurut Tom Peters, produk adalah sejarah. Perusahaan harus memasarkannya ke
hati (consumer’s heart) bukan ke pikirannya (consumer’s mind). Branding
bukanlah mensosialisasikan karakter mengenai siapa sesungguhnya saya. Kata
Tom Peters, “Branding is about our story and why it’s persuasive. Emotion, after
all, is the one ability that cannot be automated.”
Sementara Ho Kwon Ping, Chairman dari Banyan Tree Group, yang juga menjadi
pembicara, mengatakan lain lagi, bahwa sebuah merek harus mengandung
universal values yang membuat pelanggan dan karyawan merasa bangga
diasosiasikan dengan merek itu. Kata Ho, “Consumers have grown cynical about
slick advertising and are drawn to brands with deeply held values.”

Pembicara lainnya, Naryana Murthy, Chairman of Infosys Technologies,
mengatakan bahwa merek adalah “a mark of trust.” Kata Murthy, kalau Anda
mau menciptakan merek, maka Anda harus menciptakan trust, confort dan
confidence ke pelanggan Anda. Dan untuk melakukannya Anda harus
menciptakan relationship jangka panjang berdasarkan integritas, kejujuran,
moralitas terpuji.
Saya sendiri merasa sangat beruntung, karena bisa makan siang bersama dengan
dua pembicara lainnya, Anita Roddick, pendiri The Body Shop, dan Deepak
Chopra, mind body Guru dan penulis buku best-seller dunia. Aya terkesan dengan
ucapan Deepak Chopra,”Leaders who look only for external goals, such as
money, will fail.”
Nah dari deretan pembicara dan materi yang mereka sajikan, bisa kita lihat bahwa
konsep mereka sudah menuju ke spiritual. Merek yang kokoh bukan hanya lagi
merek yang berbeda dari yang lain, memberikan value unggul, dan memberikan
kualitas nomor satu kepada pelanggan, namaun juga harus mampu memberikan
dan memancarkan spiritual values kepada semua pihak, terutama pelanggan dan
karyawan.
Spiritual brand bukan bermakna merek yang berhubungan dengan agama. Bukan,
bukan itu. Mirip denganyang dikatakan Murthy, spiritual brand artinya merek
yang berhasil membangun dirinya dengan penuh integritas, kejujuran dan etetika.
Merek dengan spiritual valu es inilah yang disebut spiritual brand.
Tentu saja, membangun spiritual brand membutuhkan waktu yang lama dan
upaya yang konsisten. Serangkain skandal keuanganyang terjadi di Amerika
Serikat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa merek yang sangat
kokoh seperti Enron bisa hancur dalam sekejap jika tidak menerapkan good
corporate governance dan business ethics dalam perusahaan itu. Kedua hal –
inilah good corporate governance dan business ethics – yang merupakan fondasi
utama dalam pembangunan spiritual brands.
Spiritual values harus benar – benar dihayati oleh seluruh karyawan yang terlibat
dalam proses brand building. Spiritual values harus menjadi kultur perusahaan.
Tugas top executive-lah – terutama CEO – untuk mengkomunikasikan spiritual
values yang dianut perusahaan kepada seluruh karyawan. Sppritual brands tidak
akan berbentuk jika spiritual values yang telah ditetapkan tidak “dibeli” terlebih
dahulu oleh seluruh karyawan (istilah karennya adalah: selling the brand inside).
pada akhirnya, spiritual brand mampu mebuat pelanggannya menjadi sangat
percaya kepada merek itu. Pelanggan ini tidak akan lagi melihat offering dari
merek itu. Secara otomatis, apapun yang ditawarkan akan dibelinya. Tidak heran
jika para pelanggan ini juga mau membayar de ngan harga premium untuk
spiritual brands ini. Anda bisa lihat, harga secangkir kopi Starbucks atau tiket

penerbangan Singapore Airlines misalnya, bisa beberapa kali lipat di atas para
pemain lain.
Pelanggan jenis ini juga akan mendukung upaya apapun yang dilakukan spiritual
brands itu. Bahkan jika ada yang mengkritik, pelanggan inilah yang akan maju
membela merek itu tanpa diminta. Inilah yang saya sebut sebagai spiritual
advocate customers. Pelanggan seperti inilah yang diidam – idamkan oleh seluruh
perusahaan, karena mereka merupakan pelanggan loyal kita seumur hidup.
(Dimuat di Asia Inc. edisi Maret 2004)
POSITIONING
ADALAH JANJI

Dalam buku saya terbaru Marketing in Venus, saya menulis bahwa pelanggan
semakin lama menjadi semakin emosional layaknya wanita. Saya menulis di situ
bahwa dalam hal kejujuran, trust, dan kepercayaan karakteristik pelanggan di
Venus ini sudah mirip dengan wanita. Kita tahu bahwa wanita itu paling
menghargai yang namanya trust dan keprcayaa n. Begitu ia tidak percaya kepada
Anda karena barangkali Anda bohong kepadanya, maka sampai kapanpun ia tak
akan mempercayai Anda. Akan sulit sekali Anda melakukan recovery untuk
memulihkan kepercayaannya.
Suatu kali Shakepeare, pujangga kenamaan Inggris, pernah memperingatkan agar
jangan sekali – kali kita membohongi wanita. Kenapa? Karena sekali Anda
membohongi wanita maka selamanya ia tak akan mempercayai Anda. Dan tak
hanya itu, ia juaga akan marah besar dan bahkan menjadikan Anda musuh tak
termaafkan. “Hell hathno fury like a woman scorned,” kata Sang Pujangga.
Karena itu dalam buku tersebut pun tegas saya mengatakan, “Jangan sekali – kali
Anda membohongi pelanggan Venus!!!!” Sekali saja Anda ketahuan membohongi
pelanggan Venus, untuk selamanya mereka akan meninggalkan Anda. Dan ingat!
Memusuhi Anda selamanya. Anda jangan berpikir bahwa pelanggan Venus itu
maksudnya pelanggan dari planet Venus nun jauh di sana. Pelanggan Venus itu ya
pelanggan yang sehari – hari kita hadapi. Pelanggan yang karena pengaruh
teknologi informasi menjadi semakin emosional dan sensitive terhadap value yang
Anda berikan.
Di dunia yang semakin emosional (“Dunia Venus”) tersebut Anda harus ekstra
hati – hati. Kenapa? Karena pelanggan Venus memiliki “indra keenam”, semacam
kemampuan “supranatural” yang memungkinkan mereka mengetahui apakan
Anda bohong atau tidak. Bukan melalui dari kata – kata, tapi terutama suara,
ekpresi wajah, dan bahasa tubuh Anda.
Anda barangkali tidak tahu bahwa dalam komunikasi face to face, ucapan dan
kata – kata hanya 7 – 10 persen saja menerangkan informasi yang Anda
sampaikan kepada orang lain. Sekitar 20 – 30 persen diterangkan oleh sinyal –
sinyal non verbal, apakah itu roman muka, gerak mata, atau bahasa tubuh yang
lain. Dengan kemampuan alat sens or yang canggih di otak pelanggan Venus bias
menangkap dan menganalisa informasi ini, baik verbal maupun nonverbal, dengan
sangat baik.

Apa ini artinya? Artinya, pelanggan Venus akan tahu kalau Anda berbohong
katakana Anda mengatakan A padahal yang sesungguhnya B, Atau bilang mengga
yang Anda jual manis – manis padahal didalamnya banyak ulatnya. Mereka akan
tahu bukan dari perkataan Anda, tapi dari sinyal – sinyal nonverbal apakah itu
roman muka, emosi ataupun gerak mata Anda.
Artinya lagi, Anda tidak boleh main – main membohongi pelanggan Venus.
Serapi apapun Anda menyembunyikan kebohongan Anda, pada akhirnya mereka
akan mampu mengungkapkanya.
Sejak lebih dari sepuluh tahun lalu saat saya mengeluarkan model saya yang
pertama, Marketing Plus 2000, Saya sudah mengatakan bahwa positioning adalah
janji :
Kalu Dell mengatakan positioningnya adalah, “The world’s most customerfocused
comuter company,” maka sesungguhnya Dell mengumbar janji kepada
seluruh pelanggannya bahwa ia adalah perusahaan computer yang paling peduli
dengan pelanggannya.
Kalau BCA mengatakan positioningnya diwakili oleh satu kata “convenience”
maka sesungguhnya ia berjanji bahwa pelanggan akan mendapatkan seribu
kemudahan dari layanan – layanan BCA apakah iu layanan ATM, Klik BCA,
Mobile Banking, hingga kartu debit dan kredit.
Kalau Kijang memposisikan diri sebagai “Mobil Keluarga” maka sesungguhnya ia
sedang berjanji kepada semua keluarga di Indonesia bahwa mereka tak perlu
punya dua atau tiga mibil di rumah, karena hanya dengan satu Kijang, bapak-ibu,
anak-anak, kakek-nenek, teteh, bias terangkut kalau mau liburan di Puncak.
Namanya saja janji, maka Anda harus memenuhinya. Tidak boleh tidak!
Kalau Dell mengatakan dirinya perusahaan computer yang paling focus ke
pelanggan maka ia harus paling peduli kepada pelanggan di banding raksasa
computer yang lain. Kalau BCA mengatakan dirinya adalah “convenience” maka
ia tak boleh membiarkan nasabahnya antri bermeter-meter di depan mesin ATMnya.
Kalau Kijang menyebut dirinya mobil keluarga maka ia harus mampu
menciptakan mobil yang pas untuk keluarga Indonesia. Kalau Anda janji ke
pelanggan untuk memberikan A, maka Anda harus meberikan A, tak boleh B atau
C.
Positioning adalah pertaruhan Anda ke pelanggan. Begitu Anda meleset
memenuhinya, maka habislah Anda. Begitu Anda ketahuan ingkar janji, maka
sesungguhnya nyawa merek Anda tinggal 5 Persen.
Dulu di Bumi yang pelanggannya rasional, barangkali nyawa Anda masih 20 atau
30 persen. Namun kini di Venus yang pelanggannya sangat emosional nyawa

merek Anda betul – betul tinggal lima persen, atau barangkali malah habis sama
sekali.
Kenapa?
Karena seperti kata Shakespeare tadi, pelanggan Venus tak hanya meninggalkan
merek Anda untuk selama – lamanya, tapi jauh lebih buruk dari itu, memusuhi
merek Anda untuk selama – lamanya.
Dan ingat!!!
Pelanggan Venus paling suka ngobrol, bercerita, dan berbagi rasa dengan
sesamanya. Begitu seorang pelanggan Venus memproklamirkan bahwa merek
Anda menjadi musuhnya, maka ia akan cerita ke semua orang keburukan –
keburukannya. Ia akan menjadi advocator Anda – bukan advocator yang baik, tapi
advocator yang membawa merek Anda ke jurang kehancuran.
Karena itu saran saya : Jangan sekali kali janji kepada mereka kalau Anda masih
ragu – ragu untuk bias memenuhinya. Lebih baik Anda bersabar untuk memenuhi
dulu apa – apa saja yang akan Anda janjikan. Begitu seratus duapuluh lima persen
Anda yakin mampu memenuhinya, pada saat itulah Anda boleh mengatakan janji
Anda dan tidak seharusnya mengatakan janji Anda ke pelanggan Venus bukanlah
persoalan kecil dan sepele. Itu adalah persoalan sangat – sangat besar, karena akan
menentukan mati – hidupnya merek Anda.

Tidak ada komentar: